Dosen BSA UAD Mengikuti Short Course di Amerika

Penulis adalah dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Arab FAI UAD, seorang ibu dengan 2 anak, peserta short course spritual pedagogy di University California Riverside (UCR) Amerika Serikat. Kegiatan  ini disponsori  oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Penulis menemukan nilai-nilai pendidikan yang bisa diterapkan Indonesia dan selaras dengan nilai-nilai keislaman.

Setiap tanggal 22 Desember oleh Masyarakat Indonesia diperingati sebagai hari Ibu. Peringatan ini dipersembahkan sebagai bentuk penghargaan terhadap dedikasi Ibu Indonesia yang  telah berperan dalam membentuk karakter anak dalam keluarga, masyarakat hingga kehidupan berbangsa. Masyarakat dunia saat ini tengah menghadapi suatu era baru, yaitu era disrupsi  sebagaimana dikenalkan oleh pakar marketing, Rhenald Kasali. Peradaban baru ini dimulai dengan masifnya digitalisasi dalam segala aspek kehidupan.  Pada era ini,  sejak balita anak-anak telah familiar terhadapa hp maupun gagdet. Peran ibu di era digital kian menipis seiring dengan peran baru yang dimainkan teknologi seperti go ride untuk antar jemput sekolah, go-foodgo-sendgo-shopgo-martgo-clean dan lain-lain. Kondisi demikian, menimbulkan pertanyaan bagaimana peran para ibu di era digital? Beberapa waktu yang lalu,  penulis mendapat kesempatan untuk short course spritual pedagogy di University California Riverside (UCR) Amerika Serikat. Selain mengikuti pertemuan dengan beberapa profesor, penulis berkesempatan mengamati kehidupan rumah tangga di negeri Paman Sam tersebut, utamanya peran para ibu dalam pendidikan.

 

Dr. Rika Astari, M.A foto di salah satu gedung University California Riverside (UCR)

Perhatian Pemerintah terhadap Hak Anak

Meskipun Amerika dikenal sebagai negara maju, namun mayoritas ibu-ibu di Amerika menyusukan bayinya selama dua tahun sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur’an.  Informasi itu penulis dapatkan di dua kota, yaitu di Los Angles maupun di California. Baik pada ibu rumah tangga maupun sebagai wanita karir. Meskipun sebagai wanita karir, ibu berupaya dengan memeras ASI sebelum bekerja. Penitipan bayi (baby day care) dimulai dari usia dua bulan.  Karena menggaji asisten rumah tangga yang mahal, dibayar dengan hitungan per jam, $20 per jam, maka ibu-ibu di Amerika cenderung menitipkan baby-nya ke day care dan tidak membiarkan anaknya bersama pembantu seharian di rumah. Adapun cuti hamil yang diberlakukan selama empat bulan dan dapat diperpanjang jika mendapat rekomendasi dari dokter. Untuk anak  yang berusia sampai dengan lima tahun, pemerintah memberikan subsidi berupa susu dan  diapers dengan nominal sekitar $200 per bulan. Pada  bulan Oktober di San Diego,  hampir semua taman rekreasi  seperti Legoland selama satu bulan gratis untuk anak-anak.

Pemerintah Amerika tidak hanya peduli dengan apa yang dibutuhkan oleh anak-anak, baik fisik maupun rohani, tetapi juga sangat memperhatikan hak-hak pendidikan dan keamanan. Di California, terdapat program untuk kepedulian dan perlindungan anak usia sejak lahir sampai dua belas tahun. Program ini dilakukan oleh sebuah instansi pemerintah yang bernama The California Departement of Education. Lembaga ini memberikan layanan berupa perlindungan, pendidikan dan makanan untuk anak-anak. Apabila terdapat orang tua yang melalaikan terhadap hak-hak anak termasuk kesehatan, maka pemerintah dapat mengambil alih hak asuh anak. Kelalaian orang tua atau tindak kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat dilaporkan ke DFPS (Department of Family and Protective Services). Terkait dengan pendidikan anak agar dapat mengenyam pendidikan sampai dengan  perguruan tinggi, selain memberikan program beasiswa, pemerintah maupun kampus menyediakan pinjaman ‘loan’ untuk biaya pendidikan. Pinjaman tersebut dikembalikan setelah anak lulus dan mendapat pekerjaan.

 Caracter Building

Pola Pendidikan di Amerika ditekankan pada kedisiplinan,  independent, kritis, percaya diri, dan respect dengan perbedaan.  Namun di Amerika dirasa sangat induvidual karena sangat menghargai privasi orang serta peduli dengan lingkungan. Orang tua di Amerika disiplin dalam mengatur waktu anak-anaknya, kapan waktu tidur, kapan waktu bangun, kapan waktu makan, bermain, semuanya dikerjakan dengan tepat dan konsisten.  Jika membangunkan anak-anak juga dengan halus, tidak kasar. Dengan menghidupkan lampu, dan memanggil nama anaknya 3-4 kali, membuka selimutnya, anak pun akan bangun dengan sendirinya. Mengapa bisa seperti itu? Karena pembiasaan sejak kecil dan dilakukan terus-menerus oleh orang tualah yang membuat anaknya bisa bangun tepat waktu secara mandiri. Adanya kekonsistenan dalam menerapkan aturan, membuat anak-anak di Amerika cenderung mengikuti aturan. Jadi kalau ingin bepergian, izin ke orangtua, kapan pulang dan dengan siapa pergi. Kalau pulang terlambat, memberitahu alasan terlambat dan berapa menit lagi akan sampai di rumah.

Orang Amerika mengajarkan kemandirian kepada anaknya dari kecil. Karena upah yang mahal, yang dibayar per jam, maka orang tua di Amerika cenderung tidak mempunyai pembantu. Ibu-ibu di Amerika mengerjakan pekerjaan rumah tangga dibantu oleh suami dan anak-anaknya. Sebut saja Mrs. Kim, meskipun sebagai wanita karir, mempunyai balita, ibu ini tetap menyetir mobil secara mandiri, memasak makanan dan mengasuh anaknya saat di rumah. Anak-anak diberi tugas dan tanggung jawab di rumah, seperti membereskan kamar, ikut membantu mencuci piring, dan lain-lain. Mrs. Ann, memberikan upah perminggu 150 dollar untuk anaknya yang bertugas mencuci piring, yang mana upah itu digunakan oleh anaknya untuk uang jajannya di sekolah. Contoh lain lagi, yaitu, saat saya mendatangi keluarga yang tinggal di San Bernardino, California. Saat anak pertamanya akan ke London, menjadi utusan Redlands Unified School District untuk perayaan London New Year Parade 2019, maka ibunya mengingatkannya dengan tegas: “ini adalah pertama dan terakhir kamu ke London dengan subsidi dari orang tua”.

Dr. Rika Astari, M.A saat foto bersama dengan peserta Short Course dan mahasiswa UCR

Kemandirian adalah sebuah output wajib bagi anak, kalau selepas SMA tidak tinggal dengan orangtua adalah hal yang lumrah. Sebagai contoh, Larisa, putri pemilik homestay yang saya tempati, memilih untuk sewa kost dekat kampus, dan itu merupakan dukungan dari pihak sekolah, yang mana jika harga sewa kost mahal, maka pihak sekolah memberikan pinjaman untuk membayar kost sebagai bentuk dukungan kepada anak didik agar terlatih untuk mandiri. Pada akhirnya, sebagian besar orangtua Amerika menargetkan anak memang harus keluar dari rumah sebelum menikah. Di Amerika, anak-anak dididik untuk bekerja di luar rumah. Terdapat kebiasaan anak remaja di AS mulai bekerja part time, misalnya, bekerja di McDonalds, memotong rumput rumah tetangga dan lain-lain.

Agar anak percaya diri, pendidikan di Amerika umumnya tidak memberikan punishment secara fisik. Hukuman biasanya hanya disuruh duduk dan tidak boleh main. Jadi orang tua di Amerika tidak suka memarahi anaknya, melarang dengan suara tinggi bahkan manjauhi, mencubit atau memukul. Tapi lebih banyak menjelaskan mengapa hal itu tidak boleh dan mengajak anaknya untuk terbuka dan berdiskusi. Para ibu tidak membatasi anaknya untuk bereksplorasi dan tidak biasa memaksakan sesuatu pada  anak. Untuk mengantisipasi agar anak bebas namun tetap terkendali, banyak kegiatan positif yg membut anak menjadi kreatif seperti melukis di pot dan permainan lainnya dengan tidak membiarkan bermain gadget.  Pembiasaan untuk mengalihkan anak dari gadget, penulis temui saat acara celebration the life untuk mengenang usai wafat seseorang, saat itu, anak-anak dialihkan dengan kegiatan melukis pot dan kerajinan, sedangkan orang tua dapat mengikuti acara dengan khidmat. Begitu pula pada acara keagamaan, disiapkan 2 nara sumber,  dengan 2 topik khusus untuk orang tua dan anak-anak.

Respect terhadap perbedaan, penulis jumpai mulai pendidikan anak usia dini. Penulis sangat beruntung, berkesempatan mengunjungi sekolah anak yang bernama UCR child Development Center North. Pada  dinding sekolah ditempel bagaimana mengucapkan salam dalam bahasa Internasional, termasuk Bahasa Arab. Cara orang berpakaian yang disesuaikan dengan adat budaya pun terlihat. Penulis  pun menjumpai poster anak memakai baju koko lengkap dengan peci di tempel di dinding. Supervisor sekolah menyatakan, semua ini untuk mengajarkan anak agar mengahargai keberagaman. Semua ibu Indonesia tentu menginginkan anaknya sukses. Namun biasanya takaran sukses berdasarkan prestasi akademik seperti  mendapat ranking di kelas, nilai UAN yang tinggi sehingga bisa masuk ke sekolah favorit dan PTN. Namun berdasarkan pengamatan penulis, takaran kesuksesan bagi ibu-ibu Amerika lebih ditekankan pada karakter seperti kemandirian, percaya diri  dan menghargai orang lain. Krisis terbesar bagi suatu eksistensi bangsa sebenarnya  adalah krisis karakter. Dalam batas tertentu, tidak ada salahnya para ibu Indonesia untuk mengembangkan pendidikan karakter seperti di pendidikan di Amerika. Selamat Hari Ibu. (RA)